PPATK membuat klaim, pembekuan rekening tanpa aktivitas apapun mereka lakukan “untuk melindungi rekening dari potensi penyelewenangan dan kejahatan, seperti penipuan dan pencucian uang”.
Namun, kebijakan PPATK itu dikeluhkan warga. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai “sabotase pemerintah” lantaran mereka sengaja mengendapkan dana di rekening sebagai tabungan dan dana darurat.
Setelah kontroversi mencuat, sejumlah bank menyatakan memblokir rekening demi mematuhi ketentuan dan regulasi otoritas keuangan di Indonesia, termasuk PPATK. Mereka meminta masyarakat untuk tidak mencemaskan dana dan data yang tersimpan di bank akibat pemblokiran ini.
PPATK tepis serampangan
Kepala Biro Humas PPATK, Natsir Kongah, menyebut pembukaan rekening yang sempat mereka blokir didasarkan pada keluhan nasabah yang berbasis formulir keberatan.
PPATK, kata Natsir, kemudian memverifikasi ulang pemblokiran rekening satu per satu. Dia bilang, jika mereka tak menemukan keterkaitan rekening itu dengan tindak pidana seperti judi online, PPATK menginstruksikan bank untuk membuka rekening yang diblokir.
“Kami ketahui dia pemilik sah dan transaksinya tidak terindikasi tindak pidana, ya, PPATK minta bank untuk membuka rekeningnya,” kata Natsir kepada BBC News Indonesia.
Natsir menepis tudingan bahwa pembukaan kembali jutaan rekening dormant disebabkan ketidaktelitian PPATK dalam mengambil kebijakan.
PPATK sejak Mei lalu telah memblokir sekitar 31 juta rekening dormant, dengan nilai mencapai Rp 6 triliun.
Dari jumlah tersebut, kata Natsir, sebanyak 140 ribu rekening tidak melakukan transaksi lebih dari sepuluh tahun, dengan nilai mencapai Rp 428 miliar.
“PPATK itu niatnya lurus, melindungi kepentingan masyarakat dan nasabah,” kata Natsir. Dia membuat klaim, “Justru banyak yang bersyukur karena dilindungi.”
“Tidak benar kalau dibilang serampangan,” ujarnya.
Dalam pernyataan pada 29 Juli lalu, PPATK menyatakan kebijakan pemblokiran rekening dormant mereka ambil sebagai upaya perlindungan hak dan kepentingan pemilik sah nasabah.
PPATK menyebut dalam lima tahun terakhir kerap mendapati rekening dormant sebagai target kejahatan.
Rekening pasif itu mereka sebut diperjualbelikan atau digunakan sebagai rekening penampung tindak pidana, seperti korupsi, narkotika, judi online, dan peretasan digital.